Kamis, 13 Juni 2013

Penghuni Gedung Tua Final

“Ehm… kalian asal masuk saja ?” tanya dukun itu. Mereka mengangguk pelan, “bodoh ! Penghuni gedung itu marah pada kalian lantaran kalian masuk tanpa izin…!” dukun itu melanjutkan.
“Terus gimana ?” tanya Aldi. “Kalian… harus datang ke gedung itu lagi… malam ini, waktunya sama saat tadi malam kalian ke gedung itu !” kata dukun itu. “Memangnya ada perlu apa kita kesana ? Dan harus malam ini, mbah ? tapi kan-” belum sempat Gladies meneruskan kalimatnya, sang dukun bicara, “atau nyawa kalian bisa terancam…” “What ?” gumam Melly. “Gue takut, say…” Fanes bergumam pada Defri, dan dia merangkulnya. Mata Gladies berkaca-kaca.
. . .
            “Oke-oke… sekarang kita gedung itu… ini resikonya…” ucap Baim pelan, sambil menunjuk gedung tua tersebut, jam 11.45. “Gue takut…” kata Fanes pelan. “Kita gak akan kenapa-kenapa… kita harus optimis !” lanjut Baim. “Oke… Kita sama-sama… jangan ada yang plencar…” ujar Aldi. “Lo jangan jauh-jauh dari gue ya…” tambahnya pada Melly. Melly tersenyum dan mengangguk.
            Tak lama, mereka sudah memasuki gedung itu dan masuk kedalamnya. “Eh tunggu, sebenernya kita ngapain kesini ? kan waktu itu pertanyaan gue belom dijawab ma dukun itu… Kita dikerjain kali…” Gladies berkata. “Halah udahlah, kita minta izin dulu sama penghuninya… kasih bunga kek… kemenyan…sesaji gitu” balas Aldi. “Bunga ? Lo pikir mau nembak pacar, kasih bunga segala…?” celetuk Baim.
“Ssst… diem deh… kayak ada suara…” ucap Melly. Semuanya mendengarkan dengan seksama. “Suaranya makin deket…” bisik Baim. Semakin dekat, semakin dekat dan dibelakang Fanes berhenti. Mereka semua menoleh perlahan, meeoow… “Aaaaa….!” Teriak sebagian dari mereka karena kaget.
“Hey, cuma kucing…” Melly menenangkan. Mereka melanjutkan menyusuri lorong kedua.
“Gue gak betah nih… dingin banget…” gerutu Fanes. “Gue tau… tapi lo jangan berisik donk…” Defri membalas. “Gandeng tuh, Def si Fanes…” celetuk Razta, tak ada sahutan. “Def… Def… Defri…” katanya lagi, lalu menoleh ke belakang. “Lho, Defri ma Fanes mana ?” tanyanya kebingungan. Semuanya menoleh. “Lho… kok hilang… Tadi kan ada di belakang…” ujar Gladies.
“Ah, udahlah… paling juga keluar… mereka kan penakut…” sahut Aldi, sewot. Melly langsung menginjak kakinya, “gitu-gitu temen kita juga…” bisiknya.
            “Nih kita dimana, say…? Kok Aldi cs pada hilang ?” tanya Defri pada Fanes yang sama-sama takut. “Gue juga gak tau… perasaan tadi ada didepan kita ya sebelum kita hadap belakang…?” ucap Fanes pelan. Lalu mereka mendengar suara perempuan tertawa disekitar mereka, “suara apa tu Def, gue takuuut…” bisik Fanes. Jantung mereka berdetak kencang. “Insting gue gak enak, nih…” lanjut Fanes, matanya berkaca-kaca.
“Emang lo hewan, pake insting segala…” gumam Defri. Tiba-tiba Defri menghentikan langkahnya, lantaran dia melihat sesosok wanita berbaju putih berdiri dipojok ruangan. “Say… Lihat deh…” ucapnya gemetar, Fanes memberanikan diri untuk maju dan melihat wanita itu. “Kun… tilanak kali, say…” gerutunya, lalu berpaling pada Defri. “Lari…!” kata Defri, lalu mereka berlari, mencari jalan keluar.
            “Ta, gue kebelet…” bisik Gladies pada Razta, berjalan di belakang Aldi, Baim dan Melly. “Kebelet apaan…?” tanya Razta, bingung. “Pipis…” jawab Gladies pelan. “Duuh, tahan dulu deh… bentaran lagi…” gumam Razta.
“Gak bisa… udah dari tadi soalnya… Ehm, gue tadi lihat kayak pintu kamar mandi di belakang sana… anterin yuuuk…” ucap Gladies.
“Ya udah deh, Ta… anterin sono, kita tunggu disini…” Melly menambahi.
“Hemm, ya udah deh… yuuuk…” kata Razta, lalu dia dan Gladies menuju kamar mandi yang tadi dilihat Gladies. “Bentar ya…” kata Gladies setelah sampai di depan pintu kamar mandi. Lalu dia masuk, setelah selesai kencing, dia mengaca sebentar, menyisir rambutnya. Dia merasa ada yang berdiri di belakangnya, lalu dia menoleh. Tak ada siapa-siapa. Dia mempercepat menyisir, lalu menuju ke pintu. “Udah ?” tanya Razta, Gladies mengangguk. Mereka berjalan menuju Aldi cs. … . “Eh, tunggu… tadi kayaknya mereka disini deh… kok gak ada…” gumam Razta. “Kita ditinggal donk,” sahut Gladies. “Aldi…!” Razta memanggil, tak ada sahutan. “Lama banget sih si Gladies…?” gumam Melly, melihat jam tangannya, 12.10. “Iya, gimana nih ?” “Ya udah… kita tinggal aja ya… biar cepet…” jawab Baim. “Lho, ntar mereka gimana ?” tanya Melly, “Udahlah… pasti mereka tau jalan keluarnya donk… yuk ah,” sahut Aldi, lalu mereka melanjutkan berjalan. Sesaat kemudian, mereka memasuki sebuah ruangan yang luas, seperti aula.

“Gue penasaran… gedung ini kan tingkat… tapi dari tadi gue gak lihat tangga atau lift…” gumam Aldi, “iya ya… eh, itu dia…!” sahut Melly, Aldi menoleh. “Oh…” Lalu Aldi menaiki 4 anak tangga, dia mendengar sesuatu di atas. Namun saat dia menoleh ke bawah, Melly dan Baim tidak ada, dia sendirian. “Lho… beb… Baim…!” dia memanggil. “Kemana mereka ? Sialan gue ditinggal sendiri…!” lanjutnya.
“Aldi mana, Mel…?” tanya Baim, memandang Melly yang sedang melihat ke atas. Melly pun menoleh. “Gelap.. Tadi dia naik tangga disana…” jawabnya, menunjuk tangga yang tadi dilihatnya. Tapi, saat itu juga tangga itu lenyap. “Tangga yang mana ?” tanya Baim. “Lho… tadi disitu ada tangga kok…” Melly ngeles. “Serius lo ?” Baim penasaran, mendekati tempat yang ditunjuk Melly, dan Melly mengangguk. Semakin dekat… dan zleeep ! Sesook pocong muncul dihadapan Baim. Baim kaget setengah mati dan berteriak, begitu juga Melly yang dibelakangnya. Baim berpaling, ingin menjauhi pocong itu, tapi… tak terasa tali sepatunya terinjak oleh sang pocong.
“Tolong…! Biarin saya lepas… Saya masih muda… lepaskan saya ! Ampuuun…” katanya, berusaha untuk berlari. Melly sudah berlari duluan, jauh didepannya. Tiba-tiba pocong itu hilang. Baim pun berlari menjauh.
            Defri dan Fanes bertemu dengan Razta serta Gladies. “Heh… kita misah sama Aldi… Lo dari mana ?” tanya Defri. “Kita juga… Tauk tuh anak kemana…” sahut Razta, merangkul Gladies yang ngos-ngosan.
“Sumpah tempat ini serem banget…!” kata Fanes, merinding.
“Kita harus cari jalan keluar secepatnya… gue udah gak tahan…!” ucap Gladies.
“Oke… tapi Aldi, Melly ma Baim gimana ?” ujar Defri, “ah, paling mereka juga udah tau, kalo mereka emang harus pergi dari sini…! Biarin aja deh… gue tau, mereka pasti bisa lolos ntar… apalagi kanada Aldi” Razta menjelaskan. “Ya udah…” kemudian mereka berjalan, mencari jalan keluarnya. Tiba-tiba, bulu kuduk mereka berdiri. “Firasat gue gak enak…” bisik Gladies pada yang lain. Mereka menoleh, dan melihat tuyul yang berdarah didepan, kuntilanak yang berjoged disamping, dan sosok hitam dibelakang mereka. Mereka terkunci di dinding, dan berteriak, “aaaaaaaa !”
. . .
            Aldi berada di lantai 2 gedung itu. Tempatnya berantakan, sangat berdebu. Dia mendengar ada yang bergerak di ujung ruangan, dan dia segera menghampirinya. Sebuah bola menggelinding kearahnya, dan dia mengambilnya. Tiba-tiba bola itu berubah menjadi sebuah kepala manusia yang berdarah, dia kaget setengah mati dan membuangnya. Kepala itu lenyap. Ketika dia menoleh, sesosok bertubuh besar, hitam dan berbulu menghadangnya. “Aaaa…” Aldi berteriak, sosok itu menusukkan pisau di dada Aldi.
            “Mel… Di…! Dimana lo ?” teriak Baim, berjalan menyusuri lorong sempit. Dan dia mendengar teriakan sahutan, “Baim… gue disini…!” Melly yang berteriak. Baim segera menghampiri asal suara itu, ada didalam sebuah ruangan yang terkunci. Baim mendobrak pintunya. “Aahgrgr…” teriaknya, memegangi bahunya yang kesakitan. “Mel, dimana lo ?” lanjutnya, dan melihat sesosok perempuan mirip Melly dari belakang. Baim mengira itu Melly, dan… “hey, Mel…” ucapnya, perempuan itu menoleh, mengeluarkan banyak darah dari mulutnya. Baim ketakutan, ingin berteriak tapi tak bisa, seperti batu kedondong mengganjal mulutnya. Dia berlari, “Baim…!” Melly berteriak lagi, Baim membalas, “lo dimana ?” “Disini… Lo cepetan sini… Ini, kayak ruang bawah tanah…” teriak Melly, baim segera menyusulnya. Membuka pintu di ujung lorong, dan menemukan Melly.

Mel… lo gak apa-apa kan ?” tanyanya.
Melly menggeleng, berkeringat. “Kita harus keluar dari sini… Lihat deh…! Itu kayak sesaji…” sahut Melly, Baim memandang kumpulan sesaji itu, “iya… eh, itu bukannya dukun yang kita hampiri waktu itu, jangan-jangan,” Baim berbisik. Tiba-tiba, Melly seperti dicekik lehernya, dan dia terangkat, jauh dari lantai. “Aaaa !” teriaknya. “Mel…” “Baim, tolong !”
“Lepasin dia ! Sakiti gue aja ! Tapi jangan Melly… hoiii ! Lepasin dia !” Baim berteriak ke atas. Lalu Melly terjatuh, nafasnya ngos-ngosan, ketika Baim akan menghampiri, tiba-tiba giliran dia yang terangkat, lehernya dicekik, Baim berteriak.
“Baim…!” teriak Melly.
“Mel, lari… pergi dari sini…!” balas Baim.
“Baim…! Gak, lepasin Baim…! Bunuh gue aja, tapi jangan Baim… tolong !” kata Melly, hampir menangis. “Mel,” ucap Baim tertahan. Baim pun terlempar jatuh, dia terbatuk. Sejenak mereka mendengar suara, “bingung nih ! sebenernya siapa sih yang rela dicekik ?! yang cewek atau cowok ?!” Melly dan Baim bertatapan, tersenyum ragu. “Kita pergi sekarang,” bisik Baim.
            “Defriiii… Razta…!” teriak Fanes dan Gladies bersamaan, melihat Defri dan Razta terangkat jauh, hingga menyentuh ternit. Fanes melihat ke belakang, sosok hitam itu lenyap. Lalu Melly dan Baim datang, “hoiii !” kata Baim. “Baim, Defri ma Razta, diatas…” gumam Gladies, Baim dan Melly perlahan memandang ke atas, melihat Defri dan Razta kesakitan. “Dukun sialan !! Lepasin mereka !” teriak Baim, “dukun ?” Fanes penasaran. “Iya, dukun… ternyata provokatornya tuh si dukun itu…” Melly menjelaskan. Tak ada tanggapan. Tak lama kemudian, Defri dan Razta terlempar ke bawah. Wajah mereka pucat, lehernya sedikit berdarah. “Aaah, sakiiiit…” gumam Razta, “kalian pergi aja, kita udah gak kuat…” lanjut Defri.
“Gak, kita masuknya bareng, jadi keluarnya juga harus bareng…” sahut Baim. “Btw… Aldi mana, ya ?” tanya Melly, mereka berpandangan.
“Aldi mati…! Tadi pas gue terangkat keatas, gue lihat Aldi terkapar… penuh darah di atas…” jawab Razta, Melly terdiam, Baim segera memeluknya. “Sorry, say… gue udah gak kuat…” bisik Defri.
“Lo jangan ngomong gitu…” sahut Fanes, menangis. Defri memejamkan matanya, “kalian pergi aja… cepet… atau diantara kalian gak akan ada yang selamat… Please, turutin gue…” ucap Razta.
Sorry, Ta,” gumam Baim, lalu dia, Melly, Fanes dan Gladies pergi. Dengan duka yang mendalam.
            Kurang beberapa langkah lagi mereka keluar dari gedung itu, namun sesuatu menghadang. Sang dukun. “Mau kemana kalian ?” tanyanya pelan. “Heh, biarin kita pergi… Belum puas lo ngebunuh temen kita ?!” sahut Baim.
“Kalian gak akan bisa pergi… kalian adalah tumbal !” ucap dukun itu, dan tiba-tiba ketika Melly menoleh ke arah Fanes dan Gladies, mereka lenyap.
“Baim… Fanes ma Gladies mana ?” tanya Melly pelan. Baim menoleh, “lo kemanain mereka ?” tanyanya pada dukun itu. “Mereka adalah tumbal !! Begitu juga dengan kalian !” jawab sang dukun, tertawa. “Sialan lo !!” teriak Baim, lalu menghampiri sang dukun dengan kemarahan. Dukun itu menusukkan pisau kecil ke bahu Baim. “Baim !” Melly berteriak. Dengan menahan sakit, Baim mengeluarkan pisau itu dan menusukkannya pada dukun. “Aaaa !” teriak sang dukun, “kalian… akan… terim…a akibatnya… nan…ti” gerutu dukun itu, lalu meninggal. Melly menghampiri Baim, “ayo… gue bantu…” gumamnya. Darah Baim berceceran. Dia dan Baim meninggalkan gedung tua itu, berjalan dengan langkah yang terasa berat.
            “Tolooooong !!” teriak Fanes dan Gladies, mereka terkurung didalam gedung itu, tapi tak ada 1 orangpun yang tau. Bahkan Melly dan Baim sekalipun.
. . .
            “Thanks ya, Mel…” kata Baim keesokan harinya. Melly tersenyum. “Tapi seru juga ya… petualangan disana…” lanjut Baim. “Ngarang lo !! Kita kan kehilangan sahabat-sahabat kita…” jawab Melly. Baim memandangnya. Melly memandang keluar lewat jendela, dia kaget sekali melihat sosok dukun yang dikenalnya ada dibawah. Dia berpaling sebentar, lalu dukun itu menghilang.

SELESAI 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More